Angka Inses di Indonesia Meningkat, KOMNAS Perempuan Ajak Masyarakat Untuk Peduli.

Depok – Tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak membuat gerah masyarakat dari berbagai kalangan. Berdasarkan data KOMNAS Perempuan, tercatat peningkatan kasus sebanyak 792 persen dalam 12 tahun. Artinya, kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat nyaris delapan kali lipat setiap tahunnya. Pada 2018 tercatat sebanyak 406.178 kasus dan terus meningkat drastis sampai 431.471 kasus pada 2019. Hal senada juga diungkapkan Ketua Tim Advokasi Internasional Komisioner KOMNAS Perempuan, Rainy Maryke Hutabarat, Sabtu (28/8). Rainy juga menjelaskan hingga saat ini bentuk kekerasan seksual yang paling banyak terjadi adalah kasus inses. Inses ialah kekerasan seksual di dalam rumah yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah seperti ayah, paman dan saudara kandung.

“Ada banyak bentuk kekerasan seksual seperti inses, aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pencabulan, dan pelecehan. Dalam CATAHU KOMNAS Perempuan 2020 kasus yang paling banyak ialah inses yaitu sebanyak 822 kasus. Sedangkan untuk kasus pemerkosaan 792 kasus,” ungkapnya.
Lantas mengapa kasus inses semakin tinggi? Menurutnya tingginya angka kasus inses disebabkan karena budaya patriarki yang masih sangat kuat di masyarakat. Hal tersebut diperparah dengan adanya masalah psikologis, sosial dan sikap mental pelaku.

“Kasus inses adalah kasus yang susah untuk diungkap. Kenapa? Karena, tidak banyak korban yang berani untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya karena pelaku masih keluarga sendiri. Inses sendiri bentuknya banyak salah satunya pemaksaan anal seks oleh ayah kandung kepada anaknya,” ujarnya.
Rainy menambahkan berdasarkan data survey yang dilakukan KOMNAS Perempuan sebanyak 61 kasus inses pelakunya adalah kakak kandung dari korban.

“Kekerasan seksual inses yang paling banyak pelakunya adalah kakak kandung korban sebanyak 61 orang, 39 kasus pelakunya ayah tiri, dan 9 kasus pelakunya kakek kandung korban. Dari data terrsebut terlihat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan bisa dilakukan siapa saja bahkan oleh orang terdekat,” tegasnya.
Terakhir aktivis penyandang disabilitas ini berpesan kepada masyarakat untuk lebih peduli dan memberi dukungan jika terjadi kasus kekerasan seksual di sekitarnya.

“Jadi, yang bisa mencegah itu terjadi ya kita semua. Artinya kita harus aware dan peduli dengan lingkungan sekitar kita. Kalau terjadi kekerasan seksual kita harus berani untuk melaporkan, mendukung, dan melindungi korban. Jangan hanya diam saja dan pura – pura tidak tahu. Karena, dampak trauma baik psikis dan mental korban ke depannya akan susah untuk disembuhkan,” tandasnya.

Penulis : Diah Tritintya
Editor : Retno, Imam, Dipta